Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak dimulainya kolonialisme, orang Belanda mulai berdatangan ke Indonesia. Mulai dari petinggi, pegawai hingga tentara datang silih berganti menggunakan kapal laut.
Tujuan kedatangan mereka adalah untuk bekerja. Atas dasar inilah, mayoritas dari mereka tidak membawa keluarga, khususnya Istri. Alhasil, selama bertahun-tahun, orang Belanda hidup seorang diri di wilayah baru sejauh 11.000 km dari tanah kelahiran.
Tentu selama kurun waktu tersebut, orang Belanda, atau juga orang Eropa, tenggelam dalam kesepian. Mereka tak bisa menyalurkan hasrat seksual dan pada akhirnya melakukan berbagai macam hal.
Jika mereka punya uang lebih, maka bisa mendatangkan kekasih atau istri dari Belanda. Lalu, bisa juga pergi ke rumah bordil atau memperistri penduduk pribumi. Namun, bagi mereka yang punya sedikit uang, maka cara terbaik adalah membuat ‘istri buatan’.
Dengan bermodalkan busa yang dibalut kain dan dibentuk panjang menyerupai istri, mereka melakukan fantasi seakan-akan benda itu adalah kekasih atau istrinya. Dalam Seabad Grand Hotel Prenager (2000), kelak benda tersebut dikenal sebagai Dutch wife atau Istri Belanda.
Sebagai satu-satunya cara paling murah, maka popularitas Dutch wife langsung meroket. Seiring terjadi percampuran budaya antara orang Belanda dengan penduduk lokal, maka Dutch wife juga dipakai oleh masyarakat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan saat tidur.
Kelak, Dutch wife berubah nama dan dikenal sebagai guling oleh masyarakat luas. Atas dasar inilah, guling hanya ada di Indonesia. Di luar negeri, tak ada yang namanya guling sebagai teman tidur tidur. Bahkan, Soekarno pun bangga atas keberadaan guling sebagai warisan kolonialisme yang jadi identitas bangsa.
Orang Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kita satu-satunya bangsa di dunia yang memiliki jenis bantal yang digunakan hanya untuk berpelukan. Di setiap tempat tidur Indonesia, ada bantal sebagai hulu dan bantal kecil yang disebut guling. Guling ini bisa kita peluk sepanjang malam,” ujar Bung Karno sebagaimana yang ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. (1965). https://jusnarte.com/