Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo optimistis harga listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) akan semakin murah ke depan. Hal tersebut seiring dengan adanya inovasi yang terus berkembang tiap tahunnya.
Menurut Darmawan, jika berbicara mengenai biaya pokok produksi listrik lima atau tujuh tahun yang lalu, maka Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menjadi pilihan yang termurah yakni sekitar US$ 5,5 sen per kilo Watt hour (kWh).
Namun untuk saat ini kondisinya cukup berbeda, harga listrik dari pembangkit EBT menurutnya sudah mulai bersaing. Misalnya, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kini sudah berada pada harga US$ 4,5 sen per kWh dan Pembangkit listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) US$ 5,5 sen per kWh.
“Hari ini pun kalau kita bandingkan yang base load yang berbasis pada gas, berbasis pada hydro, berbasis pada geothermal, dibandingkan dengan solar (PLTS) and wind (PLTB), solar and wind sudah lebih murah,” kata dia di sela acara COP28 Dubai, ditayangkan dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (12/12/2023).
Oleh sebab itu, ia pun optimistis kedua pembangkit EBT ini ke depannya akan mengurangi biaya pokok produksi listrik PLN.
“Paradigma berpikir bahwa dulu kalau menambah energi baru terbarukan akan menaikkan biaya pokok produksi listrik, maka di masa depan penambahan EBT bisa menurunkan biaya pokok produksi listrik,” ujarnya.
Selain itu, ia juga optimistis harga listrik PLTS dengan baterai akan semakin murah ke depannya. Adapun harga listrik PLTS dengan baterai saat ini dipatok sekitar US$ 12 sen per kWh.
Darmawan menyadari harga listrik PLTS plus baterai sebesar US$ 12 sen per kWh tergolong masih cukup mahal. Namun, apabila menengok 5-6 tahun sebelumnya, harga listrik PLTS dengan baterai dipatok di angka US$ 35 sen per kWh.
Ia menyebut, harga US$ 12 sen per kWh sejatinya telah turun 70-80% dibanding 5 tahun yang lalu. Oleh karena itu, ia meyakini dengan adanya inovasi yang terus berkembang, harga listrik PLTS plus baterai bisa turun menjadi US$ 3-4 sen per kWh.
“Ini masih mimpi, tapi kalau melihat suatu tren yang turunnya US$ 70-80 sen ke depan, kami punya keyakinan, kita semua punya keyakinan,” kata dia. https://frutangjeruk.com/